Take It or Leave It : Gitu saja kok repot !

                                                               source picture: google

Hari ini, saya jengkel sekali dengan seseorang. Seseorang yang saya kenal sejak 2 tahun lalu.
Tampaknya, saya dan dia berbeda 'frekwensi' dalam memandang sebuah persoalan. Entah saya yang benar atau dia yang benar. Namun, saya hanya memahami satu hal dalam setiap perjalanan ke suatu daerah atau negara. Sebuah nilai hidup yang berlaku universal meskipun kehidupan di dunia ini punya keragaman, khususnya jika berbicara aspek tata kelola negara, sosial budaya dan tatanan hidup masyarakat.
Ibarat orang bertamu ke rumah seseorang, tentu sangat 'silly' jika tamu berharap dengan penuh paksaan untuk yang punya rumah itu adalah pihak yang harus lebih mau menyesuaikan diri dengan sang tamu. Dalam tatanan aturan berinteraksi sosial, tamulah yang harus datang dengan sopan dan lebih dulu beradaptasi dengan situasi kondisi yang punya rumah dan lingkungan sekitar rumah.

Memang, kita diajarkan untuk menghormati tamu dan memperlakukannya dengan sopan dan baik. Dari sudut pandang si pemilik rumah, tentu dia punya beberapa kriteria dan syarat tamu macam apa yang boleh datang dan menetap di rumahnya.  Kita tidak bisa menyalahkan sikap pemilik rumah tersebut. Saya yakin, siapapun di muka bumi ini melakukan hal tersebut. Apalagi, jika melihat dari sudut pandang rasa nyaman dan aman. Artinya, tanpa harus dipaparkan dengan detil, seharusnya seseorang yang ingin bertamu ke rumah seseorang itu sudah tahu apa yang harus dilakukan agar diterima dengan baik.
Nah, bagaimana ketika tamu sudah berada di dalam rumah seseorang? Dan, bagaimana pihak pemilik rumah menghadapi tamunya?
Apakah dibenarkan si tamu tetap membawa dan memaksakan kebiasaan di rumahnya sendiri di rumah orang lain? Khususnya kebiasaan buruk. Bahkan, kadang kebiasaan yang dipikir tamu itu baik belum tentu dipandang baik oleh si pemilik rumah.
Untuk si tamu, jika ingin survive di ruma seseorang, tentu harus mau bersikap dan berpikiran lebih terbuka terhadap sesuatu hal yang baru. Jika kebiasaan baru itu dipandang baik dan berguna untuk perkembangan diri, bukankah itu lebih baik diserap. Nah, jika dipandang tidak baik, yaa sudah...ditinggalkan. Atau, ya diterima dengan arti memang begitulah kebiasaan si pemilik rumah, meskipun si tamu tidak harus melakukan hal tersebut.
Untuk si pemilik rumah pun, tidak ada salahnya juga berpikiran dan bersikap terbuka akan kebiasaan baru (yang mungkin baik, red) yang dibawa tamunya. Dipelajari pula bagaimana menjamu tamu jika tamu tersebut datang dari sebuah budaya yang sangat berbeda alias ekstrim kebiasaannya. Nah, jika tidak cocok dengan tamu, bahkan jika si tamu berpotensi membawa kejahatan, yaa tinggal diusir saja si tamu.
Jadi, seharusnya membutuhkan kompromi kedua belah pihak. Tamu tidak boleh bersikukuh alias kekeuh memaksa si empu rumah dengan kebiasaan dia. Apalagi jika ditambah dengan sikap-sikap yang negatif dan terus menerus menjelekan si pemilik rumah sementara si tamu terus menerus menikmati benefit dari si pemilik rumah.
Ya..kalau saya bilang .... take it or leave it! Simple as that!
Take it pun tidak serta merta si tamu harus menyerupai 100% si pemilik rumah. Always open mind to learn a new thing and just think plus absorb the positive sides. Ini perlu dicerna dengan baik untuk meminimalkan culture shock.
Leave it .... yaaaa tinggalkan saja jika benar-benar tidak sesuai dengan hati nurani.
Jika ada pilihan, ya..pulang saja ke rumah asal atau cari pemilik rumah yang cocok dengan semua kemauannya.
Jika tidak ada pilihan, yaaa... berusaha menyesuaikan diri yang tentu membutuhkan waktu dan keikhlasan menerima semua kenyataan baru di depan mata. Saya tahu, tentu tidak mudah terutama jika kita akan menetap di rumah seseorang dalam jangka wakktu yang sangat lama. Bukan hanya 1-2 tahun.
Nah...hal yang sama jika kita melihat dari sudut pandang 'bertamu' ke sebuah negara. Tentu, paling mudah dalam menghormati aspek hukum tata negara sebuah negara.
Jadi, tidak heran, darah saya mendidih ketika kawan yang berkebangsaan lain 'mengenyek' keputusan Pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat itu tentang aspek Republik Indonesia tidak menerapka Dwi Kewarganegaraan. Tentu ada alasan di balik semus itu. Biarpun sekarang ini sedang marak memperjuangkan status Dwi Kewarganegaraan.
Semakin mendidih ketika dia 'mengenyek' mengapa seorang anak dari produk kawin campur setelah usia di atas 17 tahun harus memilih kewarganegaraannya. Karena dipandang dari sudut hukum Indonesia, kewarganegaraan seorang anak dilihat dari kewarganegaraan ayahnya. Untuk produk kawin campur, setelah ada sebuah perjuangan Komunitas Melati yang dilakukan oleh beberapa wanita Indonesia, telah lahir sebuah Undang-Undang baru dimana anak yang lahir dari sebuah perkawinan antar negara, sampai dengan usia 17 tahun itu memegang dua kewarganegaaraan, yakni warga negara ayah dan ibunya. Setelah usia tersebut, harus memilih.
Memang, banyak aspek hukum khususnya perdata yang terkait dengan wanita Indonesia yang melakukan perkawinan dengan orang asing yang sah dan tercatat resmi di mata hukum Negara Indonesia plus agama itu masih tidak menguntungkan pihak wanita. Berbeda jika pria berkebangsaan Indonesia yang melakukan pernikahan dengan wanita asing. Belum ada keberpihakan yang fair untuk wanita berkebangsaan Indonesia pelaku kawin campur tersebut. Belum lagi, yang harus diwaspadai dan perhatikan dengan detil bagaimana negara asal suami memandang sebuah perkawinan campur antar negara, termasuk menyangkut hak dan status anak jika lahir dari perkawinan tersebut.
Semuanya kembali pada setiap negara punya aturan hukum dan tata krama yang berbeda.  There is no stupid reason and everycountry has a personal reason.
Saya pun puas dengan cara saya mengakhiri 'ejekan' kawan saya tersebut ... elegan tapi sangat nusuk hati dia ... dan saya tidak merasa menyesal mengatakan kalimat yang menyakitkan tersebut mengingat semua perkataan yang cenderung mengandung unsur SARA.
Dia pun terdiam dan terpana mendengar kalimat tersebut.
Sesama pendatang harusnya tidak boleh ssling mengejek.
Bisa saya katakan, berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pendatang, sering kali pelaku diskriminatif itu bukan orang asli Swedia yang berdarah kakek buyut leluhur asli Swedia.
Believe it or not ... you should wear my shoes.
Saya tidak menyesal mendelete dia dalam daftar pertemanan.
20140227

Comments

Popular posts from this blog

Kisah sebatang dan kotak korek api asal Swedia

Seni menyatakan 'Hello' di Swedia

Lebih baik menikah atau sambo, yaaa??