Siapakah Anda di sini?
source picture: google
Fakta apakah itu? Fakta tentang menjadi pendatang di Swedia.
Gue senang belajar samhällskunskap itu. Menurut gue, penting buat gue yang tercatat sebagai pendatang di negaranya IKEA ini. Mengapa?
Ya .. sesuai kalimat bijak ... ''Dimana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung''.
Menerjemahkan kalimat bijak itu, bukan berarti gue merubah diri 100% menjadi seperti orang lokal Swedia (swed, red). Gue tetap menjadi orang Indonesia yang sudah pasti punya kebiasaan yang sangat berbeda dengan orang Swedia. Namun, yang gue maksud dengan ''disitulah langit dijunjung'' yakni berusaha beradaptasi dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Nah, untuk memudahkan beradaptasi, bagi gue, perlu memahami sistem politik, sosial, budaya dan ekonomi termasuk hukum Swedia.
Sudah pasti, gue tercatat sebagai pendatang yang legal di mata hukum negara Swedia dengan memegang ijin tinggal permanen. Dengan status ijin tinggal permanen itu pun, gue mengantongi ijin kerja resmi. Sesuai dengan pengajuan ijin tinggal dan kerja yang gue lakukan 3 tahun lalu, gue punya ijin tinggal bukan sebagai dependent (tertanggung) meskipun gue sekarang tinggal bersama suami tercinta. Bagaimana dengan kewarganegaraan gue? Gue masih tercatat resmi sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dengan paspor lambang Garuda Pancasila dan tulisan paspor Republik Indonesia.
Dengan status gue sebagai penduduk permanen tetap, meskipun gue berkerwarganegaraan Indonesia (WNI), as long as gue punya Personal ID Number (peson nummer dalam bahasa Swedia, red) yang dikeluarkan oleh kantor pajak Swedia, gue dapat menikmati beberapa manfaat sebagai penduduk Swedia. Namun, yang patut dicatat, benefit itu tidak ada yang gratis dalam arti yang sesungguhnya!! Benefit yang gue nikmati itu dibayarkan oleh para pembayar pajak (subsidi pembayar pajak).
Namun, demi menikmati benefit itu, fakta di lapangannya, juga tergantung 'jenis imigran' semacam apa.
Ya ... jujur kata, jika berbicara tentang imigran di sini, gue berani mengatakan --- tidak bermaksud mengkotak-kotakkan -- ada beberapa tipe :
a. tipe imigran yang datang dan menetap ke negara ini dengan status awal pengungsi (refugee atau flyktingar dalam bahasa Swedia, red) dan pencari asylum (suaka).
b. tipe imigran yang datang dari salah satu negara Eropa yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Eropa (Uni Eropa atau European Union) dan Kelompok Masyarakat Ekonomi Eropa (EEU).
c. tipe imigran yang berasal dari negara non-Uni Eropa, seperti Indonesia.
Jadi, gue termasuk dalam kategori C.
Semua kategori itu, juga perlu dilihat kewarganegaraannya. Kategori a, sudah pasti dia berkewarganegaraan Swedia. Tentu setelah melalui proses tertentu.
Kategori B, bisa saja individu imigran ini tetap memegang kewarganegaraan asalnya namun diuntungkan dengan perjanjian kesepakatan Uni Eropa untuk menikmati haknya sebagai penduduk di Swedia selama punya ijin tinggal resmi dan tercatat dalam kependudukan serta memiliki personal ID number. Umumnya, negara Uni Eropa menganut paham Dwi Kewarganegaraan.
Untuk kategori C, gue tidak akan membahas individu imigran yang sudah berpindah kewarganegaraan dengan menjadi Warga Negara Swedia. Plus, bukan korps diplomatik berikut anggota keluarganya yang menetap sementara. Atau, para pelajar baik yang via beasiswa dan non beasiswa plus para ekspatriat di perusahaan asing.
Yang, mau gue bahas dalam kategori C adalah imigran semacam gue yang tetap Warga Negara Indonesia dengan status ijin tinggal permanen yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi. Ijin permanen ini pun gue dapat setelah berakhirnya masa berlaku ijin tinggal percobaan selama 2 tahun. Dan, sesungguhnya, empat angka terakhir pada setiap personal ID-number seseorang itu punya makna yang berbeda-beda.
Jadi, gue itu bisa dibilang, ibarat 'local people' selaiknya lokal people yang berkewarganegaraan Swedia, namun tetap WNI. Gue boleh ikut memberikan suara dalam Pemilu Swedia di tingkat municipality/kotamadya.
Namun, untuk kasus gue ini, gue yang --- biarpun WNI dengan status permanen residen --- akan dilihat juga siapa pasangan (bagi yang menikah : suami/isteri atau sambo/partner , red). Contohnya, ketika gue mengajukan CSN dan membaca hasil keputusan dari institusi yang berwenang memberikan finance allowance baik berupa student loan dan student aid. Jika pasangan suami/isteri atau partner itu berkewarganegaraan Swedia atau salah satu Uni Eropa (umumnya negara Uni Eropa menganut Dwi Kewarganegaraan, red), maka individu tersebut akan lebih mudah untuk menikmati benefit tersebut.
Gue tetap berhak mendapatkan CSN itu karena status gue yang permanen residen setelah dua tahun masa percobaan sebelumnya dan tetap dilihat sebagai individu semacam single person mengingat status visa yang gue ajukan pertama kali itu bukan sebagai spouse dependent visa. Gue dilihat sebagai 'single person' itu karena mengingat status suami gue yang masih WNI meskipun dia juga sudah permanen residen dan pembayar pajak dan jenis ijin awal bukan dependent visa. Semua ini mengacu pada persyaratan Finance Allowance for Foreign Students.
CSN itu baru satu contoh.
Aspek legalitas individu ini perlu dipahami dengan baik, demi kenyamanan dan keamanan hidup sebagai pendatang yang Non-Warga Negara Swedia. Memang sih... ngejelimet ...tapi perlu. Karena kalau sudah bicara tentang aspek legalitas, akan ada dua sudut pandang yang digunakan, khususnya untuk para pelaku kawin campur, Sudut pandang hukum tata negara Republik Indonesia dan sudut pandang hukum tata negara Swedia. Nah, ketika gue ditinggal di sini, ya...gue harus respect aspek hukum Pemerintah Swedia dong.
Banyak individu yang kurang aware atau tidak menganggap penting akan hal ini. Kalaupun ada yang aware, kadang tidak ada yang bisa memberikan penjelasan yang lebih baik. Bisa jadi malu bertanya karena kendala bahasa atau lainnya. Atau, malu bertanya karena takut terlihat bodoh. Mau sharing pengalaman, dianggap sok tahu yang kadang diukur dari senioritas alias tingkat kelamaan hidup sebagai pendatang. Padahal, tidak ada salahnya sharing pengalaman karena toh pasti ada perbedaan situasi dan kondisi sebuah negara sekarang atau 2-5 tahun lalu, bahkan 10 tahun lalu.
Oleh karena itu, jika ada yang bertanya ke gue tentang bagaimana suka duka menjadi pendatang atau imigran di Swedia, gue pasti balik bertanya : Pendatang yang bagaimana dulu nih?
Pemahaman gue ini didukung sekali beberapa informasi yang gue peroleh sendiri, maklum gue mengurus semua keperluan gue sendiri, mulai dari aplikasi visa di Jakarta, berurusan dengan kantor pajak dan asuransi Swedia plus imigrasi Swedia, pengalaman mengurus membuka rekening bank (yang pernah bikin gue emosi jiwa dan terhina), mendengar pengalaman kawan-kawan sesama pendatang di sekolah dan pengalaman sesama orang Indonesia, informasi dari kawan-kawan Swedia dan sebagainya.
So, kesimpulan gue, jangan pernah membandingkan kehidupan gue dengan yang lain, biarpun itu sesama orang Indonesia baik yang masih WNI atau non-WNI (berpindah kewarganegaraan, red). Apalagi membandingkan dengan individu dari negara lain. Semua penjelasan tergantung dari latar belakang seseorang pindah dan menetap di negara ini. Termasuk, yang status visanya sebagai dependent visa atau spouse, refugee, asylum seeker, student visa dan ijin kerja sementara.
Jadi, semuanya itu adalah individual case.
Dengan kata lain, hidup sebagai pendatang di Swedia, ''rumput tetangga tidak selalu lebih hijau''.
Do not be judgmental, do not think in general. Everybody has a special and individual case.
(20140226)
Comments
Post a Comment