Lebih baik menikah atau sambo, yaaa??
Yup...judul artikel di atas pasti membuat bingung kalian ya?? Pasti bertanya-tanya, apa sih sambo itu? Lalu, apa kaitannya dengan menikah atau pernikahan? Kenapa harus bingung memilih? Dan sebagainya.
Pertama, saya ingin menjelaskan kalau hanya ada 3 status kependudukan yang sah di mata hukum Swedia, yakni ogift (lajang), gift (menikah) dan sambo (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan). Eitss...pasti deh...status kependudukan 'sambo' itu membuat dahi kalian mengernyit dan matapun terbelalak. Yah...saya bisa maklum sih...karena dalam kultur Indonesia yang cenderung kental nuansa religiusnya menganggap sambo itu sesuatu yang Big No ... No!
Dalam kosa kata Indonesia, sambo itu sama dengan 'kumpul kebo' (saya pun tidak tahu asal usul dianalogikan dengan kerbau, red) atau 'samen leven'. Pokoknya, sambo itu lebih kental nuansa atau kesan negatifnya deh! Jangan berani-berani melakukannya kalau tidak mau digrebek orang sekampung. Tetapi, itukan kalau di Indonesia. Bagaimana dengan di Swedia? Tentu saya tidak bisa menghakimi tanpa dasar pelegalan status kependudukan sambo itu. Pasti, pemerintah Swedia punya alasan yang sangat kuat.
Monika Åström, seperti dalam bukunya yang berjudul Språkporten 123 (buku wajib bagi individu yang sedang menekuni kursus bahasa Swedia sebagai bahasa kedua/Swedish as a second language, red), mengatakan hubungan tanpa ikatan pernikahan a.k.a sambo mulai marak sejak akhir tahun 1960-an. Sebelumnya, sambo juga menjadi sesuatu yang dipandang melanggar norma susila ketika pengaruh gereja masih sangat kuat di Swedia. Atau, ketika kehidupan keluarga di Swedia masih sangat tradisional dimana wanita hamil di luar pernikahan pun adalah hal yang sangat memalukan seperti pada era tahun 1700-1800. Individu yang memutuskan untuk sambo pun terus meningkat. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang menarik di Swedia sampai-sampai parlemen Swedia memberlakukan hukum tentang persamboan (sambolagen, red) pada akhir tahun 1980-an.
Lalu, apa alasan utama para individu yang melakukan sambo itu? Apa semata-mata karena takut terhadap komitmen pernikahan yang sangat kompleks? Hmm...bisa dikatakan demikian. Ya, mayoritas para pelaku sambo itu berpendapat 'keputusan menikah itu lebih sulit daripada memiliki anak (giftermål ett större steg än barn, red)'. Mereka mempertimbangkan banyak hal yang sifatnya sangat pribadi/individual terkait dengan perasaan cinta terhadap pasangan/kekasihnya. Dengan kata lain, mereka sangat hati-hati dalam menawarkan komitmen/janji pernikahan terhadap kekasihnya. Rata-rata mereka bertanya kepada diri sendiri, seperti 'apakah modal cinta saja cukup untuk menikah?', 'apakah cinta dia pada saya cukup untuk membuat saya menikahinya?', 'bagaimana jika gagal di tengah jalan?' dan sebagainya.
Hmmm....hayooo....pasti kalian mau bilang mereka takut komitmen kawin deh! Hehehehe.... Yahhh....ga salah juga sih. Bagi siapapun, keputusan menikah itu sebuah langkah besar dalam hidup dan penuh dengan janji yang harus dipenuhi baik terhadap pasangan, keturunan, keluarga dan terutama pada Tuhan. Sebuah komitmen hidup yang tidak bisa dipermainkan!
Pada tahun 2003 terjadi reformasi UU Persamboan (sambolagen, red). Perubahan ini terjadi mengingat kehidupan persamboan itu berpotensi konflik yang tinggi jika dikaitkan dengan aspek perdata, yakni harta bergerak dan tidak bergerak. Tentu, siapapun tidak ada yang pernah bermimpi hubungan percintaan harus berakhir di tengah jalan. Ada yang berakhir baik-baik. Ada juga yang berakhir dengan pertengkaran atau sengketa tentang harta bersama yang bisa membuat dari 'cinta menjadi benci' atau 'musuh bebuyutan'.
Sambo sudah berarti hidup bersama dalam satu rumah. Entah pihak yang pria atau wanita yang memutuskan pindah dan menetap di rumah/apartemen pasangannya. Umumnya, pihak yang eksodus ke rumah/apartemen pasangannya itu menyewakan rumah/apartemen yang sudah dia miliki jauh sebelum bertemu pujaan hati. Atau, kalaupun mereka belum memiliki rumah/apartemen ketika bertemu pertama kali, mereka memutuskan membeli dan mencicilnya bersama. Atau, menyewa dengan membayar uang sewa secara patungan. Itu baru rumah/apartemen.
Pertama, saya ingin menjelaskan kalau hanya ada 3 status kependudukan yang sah di mata hukum Swedia, yakni ogift (lajang), gift (menikah) dan sambo (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan). Eitss...pasti deh...status kependudukan 'sambo' itu membuat dahi kalian mengernyit dan matapun terbelalak. Yah...saya bisa maklum sih...karena dalam kultur Indonesia yang cenderung kental nuansa religiusnya menganggap sambo itu sesuatu yang Big No ... No!
Dalam kosa kata Indonesia, sambo itu sama dengan 'kumpul kebo' (saya pun tidak tahu asal usul dianalogikan dengan kerbau, red) atau 'samen leven'. Pokoknya, sambo itu lebih kental nuansa atau kesan negatifnya deh! Jangan berani-berani melakukannya kalau tidak mau digrebek orang sekampung. Tetapi, itukan kalau di Indonesia. Bagaimana dengan di Swedia? Tentu saya tidak bisa menghakimi tanpa dasar pelegalan status kependudukan sambo itu. Pasti, pemerintah Swedia punya alasan yang sangat kuat.
Monika Åström, seperti dalam bukunya yang berjudul Språkporten 123 (buku wajib bagi individu yang sedang menekuni kursus bahasa Swedia sebagai bahasa kedua/Swedish as a second language, red), mengatakan hubungan tanpa ikatan pernikahan a.k.a sambo mulai marak sejak akhir tahun 1960-an. Sebelumnya, sambo juga menjadi sesuatu yang dipandang melanggar norma susila ketika pengaruh gereja masih sangat kuat di Swedia. Atau, ketika kehidupan keluarga di Swedia masih sangat tradisional dimana wanita hamil di luar pernikahan pun adalah hal yang sangat memalukan seperti pada era tahun 1700-1800. Individu yang memutuskan untuk sambo pun terus meningkat. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang menarik di Swedia sampai-sampai parlemen Swedia memberlakukan hukum tentang persamboan (sambolagen, red) pada akhir tahun 1980-an.
Lalu, apa alasan utama para individu yang melakukan sambo itu? Apa semata-mata karena takut terhadap komitmen pernikahan yang sangat kompleks? Hmm...bisa dikatakan demikian. Ya, mayoritas para pelaku sambo itu berpendapat 'keputusan menikah itu lebih sulit daripada memiliki anak (giftermål ett större steg än barn, red)'. Mereka mempertimbangkan banyak hal yang sifatnya sangat pribadi/individual terkait dengan perasaan cinta terhadap pasangan/kekasihnya. Dengan kata lain, mereka sangat hati-hati dalam menawarkan komitmen/janji pernikahan terhadap kekasihnya. Rata-rata mereka bertanya kepada diri sendiri, seperti 'apakah modal cinta saja cukup untuk menikah?', 'apakah cinta dia pada saya cukup untuk membuat saya menikahinya?', 'bagaimana jika gagal di tengah jalan?' dan sebagainya.
Hmmm....hayooo....pasti kalian mau bilang mereka takut komitmen kawin deh! Hehehehe.... Yahhh....ga salah juga sih. Bagi siapapun, keputusan menikah itu sebuah langkah besar dalam hidup dan penuh dengan janji yang harus dipenuhi baik terhadap pasangan, keturunan, keluarga dan terutama pada Tuhan. Sebuah komitmen hidup yang tidak bisa dipermainkan!
Oleh karena itu, banyak juga sih yang memandang sambo itu juga semacam 'probation time' sebelum memasuki gerbang pernikahan. Wong...sudah hidup bersama selaiknya suami isteri dan lahirlah anak dari bersambo itu. Masa waktu bersambo itu ada yang lebih dari 5 tahun loh....bahkan bisa seumur hidup pasangan sambo itu. Ada juga yang akhirnya memutuskan 'mengubah status' dari sambo menjadi gift. Menikah??? Horeee.... masa percobaan sudah berakhir :)
Bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari bersambo? Secara hukum, anak itu sah dan resmi punya ayah dan ibu seperti anak yang dilahirkan dalam sebuah pernikahan. Biarpun, banyak pasangan sambo menganggap hadirnya anak itu semacam 'bonus' yang harus tetap diperlakukan dengan penuh kasih sayang dan diakui sebagai 'buah cinta'. Dengan kata lain, 'tiba-tiba menjadi orang tua' dalam kehidupan persamboan itu sebuah 'bonus' yang pastinya mereka sadari sejak awal dari sebuah 'konsekuensi tidur bareng setiap hari'.
Mereka sebagai orangtua tetap wajib memenuhi berbagai kebutuhan utama dan sekunder anak-anaknya. Mereka tidak boleh mengabaikan hak-hak anak untuk tetap mendapatkan kasih sayang, kebutuhan primer (sandang-pangan-papan) dan sekunder (pendidikan-kesehatan). Plus, kebutuhan tersier (liburan dan sebagainya).
Bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari bersambo? Secara hukum, anak itu sah dan resmi punya ayah dan ibu seperti anak yang dilahirkan dalam sebuah pernikahan. Biarpun, banyak pasangan sambo menganggap hadirnya anak itu semacam 'bonus' yang harus tetap diperlakukan dengan penuh kasih sayang dan diakui sebagai 'buah cinta'. Dengan kata lain, 'tiba-tiba menjadi orang tua' dalam kehidupan persamboan itu sebuah 'bonus' yang pastinya mereka sadari sejak awal dari sebuah 'konsekuensi tidur bareng setiap hari'.
Mereka sebagai orangtua tetap wajib memenuhi berbagai kebutuhan utama dan sekunder anak-anaknya. Mereka tidak boleh mengabaikan hak-hak anak untuk tetap mendapatkan kasih sayang, kebutuhan primer (sandang-pangan-papan) dan sekunder (pendidikan-kesehatan). Plus, kebutuhan tersier (liburan dan sebagainya).
Pengabaian hak anak tersebut berbuah konsekuensi hukuman yang bisa berujung hidup dalam penjara atau kehilangan hak asuh atas anak tersebut. Intinya, para anak yang lahir dari bersambo itu punya hak yang sama dengan anak-anak yang lahir dari sebuah pernikahan.
Nah....lalu...apa bedanya dong dengan menikah? Atau, lebih baik menikah atau sambo saja yaaa??
Ternyata, perbedaannya ada pada konteks isi hukum persamboan dan hukum pernikahan.
Nah....lalu...apa bedanya dong dengan menikah? Atau, lebih baik menikah atau sambo saja yaaa??
Ternyata, perbedaannya ada pada konteks isi hukum persamboan dan hukum pernikahan.
Pada tahun 2003 terjadi reformasi UU Persamboan (sambolagen, red). Perubahan ini terjadi mengingat kehidupan persamboan itu berpotensi konflik yang tinggi jika dikaitkan dengan aspek perdata, yakni harta bergerak dan tidak bergerak. Tentu, siapapun tidak ada yang pernah bermimpi hubungan percintaan harus berakhir di tengah jalan. Ada yang berakhir baik-baik. Ada juga yang berakhir dengan pertengkaran atau sengketa tentang harta bersama yang bisa membuat dari 'cinta menjadi benci' atau 'musuh bebuyutan'.
Sambo sudah berarti hidup bersama dalam satu rumah. Entah pihak yang pria atau wanita yang memutuskan pindah dan menetap di rumah/apartemen pasangannya. Umumnya, pihak yang eksodus ke rumah/apartemen pasangannya itu menyewakan rumah/apartemen yang sudah dia miliki jauh sebelum bertemu pujaan hati. Atau, kalaupun mereka belum memiliki rumah/apartemen ketika bertemu pertama kali, mereka memutuskan membeli dan mencicilnya bersama. Atau, menyewa dengan membayar uang sewa secara patungan. Itu baru rumah/apartemen.
Tentu saja, eksodus ke rumah kekasih, pastinya membawa banyak barang pribadi juga dong. Dan, ketika tinggal bersama, ada barang-barang yang dibeli bersama atau dibelikan oleh pasangan. Oleh karena itu, tidak heran kalau ada pasangan sambo 'cerai', artinya dia harus siap keluar dari rumah/apartemennya sambil membawa barang-barang pribadi yang dia miliki sebelum hidup bersama.
Nah, bagaimana dengan nasib harta benda, termasuk hewan peliharaan yang hadir dalam kehidupan bersambo itu? Inilah potensi konfliknya. Siapa sih yang mau mengingat-ingat atau teringat harus mengklaim 'ini barang yang saya beli loh!' atau 'itu barang yang kamu beli loh!'? Atau, gengsi kalee...kalau harus meminta kembali barang yang sudah diberikan kepada eks-sambo biarpun bernilai tinggi, seperti perhiasan dan barang mewah lainnya.
Nah, bagaimana dengan nasib harta benda, termasuk hewan peliharaan yang hadir dalam kehidupan bersambo itu? Inilah potensi konfliknya. Siapa sih yang mau mengingat-ingat atau teringat harus mengklaim 'ini barang yang saya beli loh!' atau 'itu barang yang kamu beli loh!'? Atau, gengsi kalee...kalau harus meminta kembali barang yang sudah diberikan kepada eks-sambo biarpun bernilai tinggi, seperti perhiasan dan barang mewah lainnya.
Hmmm...tergantung juga sih....gengsi atau tidak itu sangat tergantung pada level sakit hati dari sebab musababnya perpisahan tersebut. Dengan kata lain, putus sambo itu harus siap-siap bedol desa kembali ke rumah/apartemen yang lama atau menyewa unit apartemen untuk menjalani kehidupan sebagai lajang kembali. Sepahit-pahitnya sih...siap-siap 'ngekos' di rumah/apartemen kawan/orang sementara mengingat sulit sekali membeli dan menyewa rumah/unit apartemen di Swedia.
Boro-boro deh bersiteru tentang harta benda ketika sakit hati dan emosi memuncak. Bahkan, bela-belain bertemu dengan mantan untuk membahas hal tersebut saja sudah mampu bikin 'naik darah'. Jadi, wajar dari aspek psikologinya..kalau pembahasan hal tersebut dalam sebuah hubungan percintaan yang pecah berantakan itu lebih banyak membuahkan konflik baru yang tak berujung. Sedih karena berpisah dengan orang yang sudah hidup bersama bertahun-tahun itu bagaikan sedih yang tak berujung.
Bagaimana mau 'move on' kalau harus terus menerus tetap bertemu? Bisa saja sih tidak bertemu untuk membahas harta benda itu, tetapi hal tersebut sangat tergantung pada 'kerelaan hati' sang pemilik benda. Hehehe....kalau benda itu bernilai puluhan-ratusan ribu atau jutaan Swedian Kronor/SEK (1 SEK sekitar Rp 1.600, red), pasti deh....ga akan rela lah jika benda itu tetap dalam genggaman mantan! Apalagi kalau si mantan cepat bertemu pasangan baru! Sakitnyaaaa tuhhh di siniiiii....sambil menujuk hati! Konflik tak berujung itu juga bisa sebuah hutang piutang yang terjadi semasa hidup bersama.
So...untuk meminimalkan konflik tersebut, parlemen Swedia menetapkan UU Persamboan yang baru itu sangat rinci mengatur aspek harta benda jika salah satu pihak itu meninggal (dödsfall) dan terjadi perpisahan (skiljer sig). UU itu menekankan pasangan sambo harus membuat testamen waris tentang ahli waris yang sah kalau salah satu pihak meninggal. Lalu, masing-masing pihak pelaku sambo harus membuat surat pernyataan tentang harta pribadi-bersama dan hutang piutang pribadi-bersama atau semacam surat perjanjian pra-nikah biarpun mereka tidak menikah secara hukum selaiknya pasangan menikah (gift). Bagi individu yang pasangan sambonya meninggal tidak akan menerima harta waris sepeserpun jika tidak ada testamen resmi. Inilah bedanya dengan pasangan yang menikah (gift).
Pasangan yang menikah punya hak yang sama sebagai pewaris langsung yang sah atas harta benda termasuk hutang piutang jika salah satunya meninggal. Suami dan isteri adalah pewaris langsung yang sah tanpa ada testamen dalam sebuah ikatan pernikahan (gift) di Swedia. Berbeda jika berbicara tentang perceraian dalam kehidupan pernikahan (gift). Di sinilah juga patut diketahui tentang ett äktenskapförord atau surat perjanjian bersama tentang harta benda pribadi-bersama dan hutang-piutang pribadi-bersama yang dibuat dan disahkan sebelum pernikahan itu terjadi (surat perjanjian pra-nikah, red).
Boro-boro deh bersiteru tentang harta benda ketika sakit hati dan emosi memuncak. Bahkan, bela-belain bertemu dengan mantan untuk membahas hal tersebut saja sudah mampu bikin 'naik darah'. Jadi, wajar dari aspek psikologinya..kalau pembahasan hal tersebut dalam sebuah hubungan percintaan yang pecah berantakan itu lebih banyak membuahkan konflik baru yang tak berujung. Sedih karena berpisah dengan orang yang sudah hidup bersama bertahun-tahun itu bagaikan sedih yang tak berujung.
Bagaimana mau 'move on' kalau harus terus menerus tetap bertemu? Bisa saja sih tidak bertemu untuk membahas harta benda itu, tetapi hal tersebut sangat tergantung pada 'kerelaan hati' sang pemilik benda. Hehehe....kalau benda itu bernilai puluhan-ratusan ribu atau jutaan Swedian Kronor/SEK (1 SEK sekitar Rp 1.600, red), pasti deh....ga akan rela lah jika benda itu tetap dalam genggaman mantan! Apalagi kalau si mantan cepat bertemu pasangan baru! Sakitnyaaaa tuhhh di siniiiii....sambil menujuk hati! Konflik tak berujung itu juga bisa sebuah hutang piutang yang terjadi semasa hidup bersama.
So...untuk meminimalkan konflik tersebut, parlemen Swedia menetapkan UU Persamboan yang baru itu sangat rinci mengatur aspek harta benda jika salah satu pihak itu meninggal (dödsfall) dan terjadi perpisahan (skiljer sig). UU itu menekankan pasangan sambo harus membuat testamen waris tentang ahli waris yang sah kalau salah satu pihak meninggal. Lalu, masing-masing pihak pelaku sambo harus membuat surat pernyataan tentang harta pribadi-bersama dan hutang piutang pribadi-bersama atau semacam surat perjanjian pra-nikah biarpun mereka tidak menikah secara hukum selaiknya pasangan menikah (gift). Bagi individu yang pasangan sambonya meninggal tidak akan menerima harta waris sepeserpun jika tidak ada testamen resmi. Inilah bedanya dengan pasangan yang menikah (gift).
Pasangan yang menikah punya hak yang sama sebagai pewaris langsung yang sah atas harta benda termasuk hutang piutang jika salah satunya meninggal. Suami dan isteri adalah pewaris langsung yang sah tanpa ada testamen dalam sebuah ikatan pernikahan (gift) di Swedia. Berbeda jika berbicara tentang perceraian dalam kehidupan pernikahan (gift). Di sinilah juga patut diketahui tentang ett äktenskapförord atau surat perjanjian bersama tentang harta benda pribadi-bersama dan hutang-piutang pribadi-bersama yang dibuat dan disahkan sebelum pernikahan itu terjadi (surat perjanjian pra-nikah, red).
Sebagai catatan, ett äktenskapförord itu pun bisa direview atau diperbarui ketika pernikahan sudah berlangsung. Tentu saja hal itu tetap harus disahkan kembali secara hukum dimana ditandatangani berdua di hadapan pengacara.
Jadi, jika menyimak penuturan di atas, siapapun yang memutuskan untuk bersambo atau menikah itu wajib 'aware' sebuah konsep perjanjian pra-nikah dan harus membuatnya untuk meminimalkan hadirnya kemungkinan terburuk yakni sebuah perpisahan, baik cerai hidup atau cerai mati. Biarpun, tidak ada satu pihak pun yang menginginkannya.
Nah...tentang apakah lebih baik menikah atau bersambo? Saya kembalikan pada individu-individu masing-masing. Tidak ada penghakiman moral dan etika dalam keputusan kalian. Biarpun, secara pribadi, saya tidak menyetujui konsep sambo itu. Mengapa? Bukan karena saya hidup dan besar dalam kultur Asia dan agamis, tetapi lebih kepada cara pandang saya tentang sebuah komitmen! Tinggal pilih, being single (ogift) selamanya dimana bisa saja dalam ke-singelan saya itu, pada waktu tertentu punya kekasih atau teman tapi mesra (TTM). Atau, menikah (gift) dengan segala konsekuensi positif dan negatifnya.
Jadi, jika menyimak penuturan di atas, siapapun yang memutuskan untuk bersambo atau menikah itu wajib 'aware' sebuah konsep perjanjian pra-nikah dan harus membuatnya untuk meminimalkan hadirnya kemungkinan terburuk yakni sebuah perpisahan, baik cerai hidup atau cerai mati. Biarpun, tidak ada satu pihak pun yang menginginkannya.
Nah...tentang apakah lebih baik menikah atau bersambo? Saya kembalikan pada individu-individu masing-masing. Tidak ada penghakiman moral dan etika dalam keputusan kalian. Biarpun, secara pribadi, saya tidak menyetujui konsep sambo itu. Mengapa? Bukan karena saya hidup dan besar dalam kultur Asia dan agamis, tetapi lebih kepada cara pandang saya tentang sebuah komitmen! Tinggal pilih, being single (ogift) selamanya dimana bisa saja dalam ke-singelan saya itu, pada waktu tertentu punya kekasih atau teman tapi mesra (TTM). Atau, menikah (gift) dengan segala konsekuensi positif dan negatifnya.
Nah, ketika dalam pernikahan itu, satu hal yang saya pahami dan jalani adalah 'saya setia padamu (suami, red) karena janji saya pada Tuhanku. Bukan janji saya padamu'. Yup... janji pada Tuhanku itu artinya saya sudah berjanji untuk setia pada pasangan hidupku dalam suka dan duka. 'Till death do us apart'.
20140923
20140923
Comments
Post a Comment